Angin berhembus
sendu dari luar jendela kamarnya. Menerpa pipi dinginnya yang menghangat karna
hujan di ujung matanya. Setiap berapa detik air matanya mengalir deras, dan
bibirnya bergetar. Nafasnya terdengar cukup keras, seakan ada yang tertahan di
dadanya. Kasur empuk dan bantal di peluknya sudah seperti sandaran nyaman untuk
tubuh lemahnya, namun lebih lemah hatinya saat itu.
Matanya terpejam
dan terbuka, ia diantara sadar dan lelap. Namun hatinya tetap terasa porak
poranda oleh kenyataan. Ia memilih tertidur lelap berharap mimpinya mampu
menghapus kepahitan kenyataan. Yang ia tahu mimpi selalu lebih indah dari kenyataan
yang harus ia hadapi. Lama-lama ia terlelap, kamarnya hening dan nafasnya mulai
teratur. Detik jam dinding terdengar seperti hitungan waktu mundur yang
mengantarnya pada sebuah mimpi. Pipinya masih basar oleh air mata dan mulai
mengering oleh angin lembut disekitarnya yang bagai menjelma seperti usapan
manja malaikat penjaganya.
Ia sudah
tersesat dalam mimpi, menemukan wajahnya lagi di antara sela sinar jingga senja
hari. Laki-laki itu tersenyum padanya dan menyapa “Hai”. Hatinya berdebar,
dadanya sedikit bergetar, mulutnya membuka dan berkata hai juga. Bangku taman
sederhana tiba-tiba menjadi indah saat mereka duduk bersebelahan. Di sorot
sinar kekuningan yang indah dari sela-sela dedaunan yang sesekali di goyang
angin.
Sedang ia yang
duduk disebelahnya tak terasa sudah meneteskan air mata hingga cukup membuat
pipinya basah, lalu segera di usapnya. Ia berkata “Aku mengerti” dan ia mulai
menutup mata. Saat ia membuka mata dan melihat laki-laki di sampingnya, ia tak
menemukannya lagi. Ia ingin sekali beranjak dari bangku itu dan mencari bahkan
mengejar laki-laki itu yang hilang dalam sekejap mata. Namun kakinya terasa
lumpuh, sedang matanya tak ingin berhenti meneteskan air mata. Hatinya berguncang,
sedihnya membuncah. Lalu matanya terbuka dan ia melihat jam dinding di kamarnya
pukul 17:00 sore. Ia bertemu senja lagi dalam kenyataan.
Ia ingin
terlelap lagi, tak mau menatap senja hari, tak ingin mengetahui malam gelap
panjang tanpa sapanya lagi, tak ingin melihat dunia luar di pagi hari tanpa
ucapan selamat paginya. Untuk beberapa waktu ia ingin tertidur tanpa mengingat
laki-laki itu dan senja. Ia Ingin tidur dan merasakan kesedihannya sendiri dalam
tidurnya. Ia ingin tidur sampai dimana sinar mentari pagi mencium keningnya dan
menghapus segala luka. Tak perlu pangeran tampan yang membangunkan tidur
panjangnya. Hanya ingin sebuah anugrah dari Tuhan berupa hati yang ikhlas
menerima kepergiannya setelah ia membuka mata setelah tidur sedihnya yang
panjang. Tak perlu akhir yang indah
dengan bersamanya selamanya untuk saat itu, ia ingin terbangun dalam tidur
sedihnya dengan hati yang sudah lebih baik dan lebih menerima kepergiannya,
tanpa terlalu berharap mampu bersamanya selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar