Sabtu, April 29, 2017

Sleeping Sad


Angin berhembus sendu dari luar jendela kamarnya. Menerpa pipi dinginnya yang menghangat karna hujan di ujung matanya. Setiap berapa detik air matanya mengalir deras, dan bibirnya bergetar. Nafasnya terdengar cukup keras, seakan ada yang tertahan di dadanya. Kasur empuk dan bantal di peluknya sudah seperti sandaran nyaman untuk tubuh lemahnya, namun lebih lemah hatinya saat itu.  


Matanya terpejam dan terbuka, ia diantara sadar dan lelap. Namun hatinya tetap terasa porak poranda oleh kenyataan. Ia memilih tertidur lelap berharap mimpinya mampu menghapus kepahitan kenyataan. Yang ia tahu mimpi selalu lebih indah dari kenyataan yang harus ia hadapi. Lama-lama ia terlelap, kamarnya hening dan nafasnya mulai teratur. Detik jam dinding terdengar seperti hitungan waktu mundur yang mengantarnya pada sebuah mimpi. Pipinya masih basar oleh air mata dan mulai mengering oleh angin lembut disekitarnya yang bagai menjelma seperti usapan manja malaikat penjaganya.

Ia sudah tersesat dalam mimpi, menemukan wajahnya lagi di antara sela sinar jingga senja hari. Laki-laki itu tersenyum padanya dan menyapa “Hai”. Hatinya berdebar, dadanya sedikit bergetar, mulutnya membuka dan berkata hai juga. Bangku taman sederhana tiba-tiba menjadi indah saat mereka duduk bersebelahan. Di sorot sinar kekuningan yang indah dari sela-sela dedaunan yang sesekali di goyang angin. 

Aku menyukai tempat ini, namun aku lebih menyukaimu. Aku menyukai semua pertemuan-pertemuan kita yang dicipta semesta. Namun hal itu yang membuatku sangat membenci perpisahan yang juga dicipta olehnya. Jika bisa aku memilih, tentu aku ingin menemuimu setiap senja di tempat ini. Namun senja ini pula yang memaksaku pergi darimu. Aku tentu akan berusaha kembali jika aku mampu, namun pergilah jika itu membuatmu sakit. Aku tak berniat ingin menyakitimu, namun pada akhirnya pula harapanmu yang tak mampu aku penuhi akan melukaimu. Jangan menungguku lagi di senja-senja selanjutnya jika itu menyakitimu. Sungguh aku tak ingin merusak arti senja yang indah bagimu. Nikmati senjamu nanti dengan ia yang lebih mampu membuat arti senjamu lebih indah lagi.” Laki-laki itu tersenyum, namun air mata menyembul di pelupuk matanya.
 
Sedang ia yang duduk disebelahnya tak terasa sudah meneteskan air mata hingga cukup membuat pipinya basah, lalu segera di usapnya. Ia berkata “Aku mengerti” dan ia mulai menutup mata. Saat ia membuka mata dan melihat laki-laki di sampingnya, ia tak menemukannya lagi. Ia ingin sekali beranjak dari bangku itu dan mencari bahkan mengejar laki-laki itu yang hilang dalam sekejap mata. Namun kakinya terasa lumpuh, sedang matanya tak ingin berhenti meneteskan air mata. Hatinya berguncang, sedihnya membuncah. Lalu matanya terbuka dan ia melihat jam dinding di kamarnya pukul 17:00 sore. Ia bertemu senja lagi dalam kenyataan.


Ia ingin terlelap lagi, tak mau menatap senja hari, tak ingin mengetahui malam gelap panjang tanpa sapanya lagi, tak ingin melihat dunia luar di pagi hari tanpa ucapan selamat paginya. Untuk beberapa waktu ia ingin tertidur tanpa mengingat laki-laki itu dan senja. Ia Ingin tidur dan merasakan kesedihannya sendiri dalam tidurnya. Ia ingin tidur sampai dimana sinar mentari pagi mencium keningnya dan menghapus segala luka. Tak perlu pangeran tampan yang membangunkan tidur panjangnya. Hanya ingin sebuah anugrah dari Tuhan berupa hati yang ikhlas menerima kepergiannya setelah ia membuka mata setelah tidur sedihnya yang panjang.  Tak perlu akhir yang indah dengan bersamanya selamanya untuk saat itu, ia ingin terbangun dalam tidur sedihnya dengan hati yang sudah lebih baik dan lebih menerima kepergiannya, tanpa terlalu berharap mampu bersamanya selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar