Angin berhembus
sendu dari luar jendela kamarnya. Menerpa pipi dinginnya yang menghangat karna
hujan di ujung matanya. Setiap berapa detik air matanya mengalir deras, dan
bibirnya bergetar. Nafasnya terdengar cukup keras, seakan ada yang tertahan di
dadanya. Kasur empuk dan bantal di peluknya sudah seperti sandaran nyaman untuk
tubuh lemahnya, namun lebih lemah hatinya saat itu.
Matanya terpejam
dan terbuka, ia diantara sadar dan lelap. Namun hatinya tetap terasa porak
poranda oleh kenyataan. Ia memilih tertidur lelap berharap mimpinya mampu
menghapus kepahitan kenyataan. Yang ia tahu mimpi selalu lebih indah dari kenyataan
yang harus ia hadapi. Lama-lama ia terlelap, kamarnya hening dan nafasnya mulai
teratur. Detik jam dinding terdengar seperti hitungan waktu mundur yang
mengantarnya pada sebuah mimpi. Pipinya masih basar oleh air mata dan mulai
mengering oleh angin lembut disekitarnya yang bagai menjelma seperti usapan
manja malaikat penjaganya.