Rabu, Januari 13, 2016

Kado yang Tertunda



Sekitar 5 menit berlalu aku sampai ke warung mi ayam pangsit yang ia maksud. Setelah hampir sampai di depan warung itu, aku melihatnya sudah duduk di kursi pembeli sambil mengembangkan senyumnya padaku. Aku segera mamarkirkan motor matic ku. Segera ku menghampirinya.

“Assalamu’alaikum, sudah lama?” sambil tersenyum ramah.
“Wa’alaikumsalam, baru kok. Mau milih tempat yang mana?”
“Di dalem aja ya.” Aku menunjuk salah satu bangku yang berada di dalam warung itu.

Kami duduk menghadap tembok, dengan meja yang terkesan kecil dan menempel tembok, lebarnya sekitar 50 cm namun cukup panjang hampir 2 meter. Kami duduk bersebelahan, namun ada jarak satu kursi dari tempat duduk kami. Tempat itu tak cukup ramai, hanya ada 3 orang pembeli termasuk kami, dan seorang penjual wanita yang sudah memiliki cukup banyak kerutan di wajahnya, berambut ikal pendek dan mengenakan blouse lengan pendek serta celana abu-abu pendek selutut. Wanita itu mendekati kami dan bertanya, “Mau pesan apa? Mi ayam, bakso, atau mi bakso?”
“Aku mi ayam saja, kamu apa?” Rafa memandangiku sambil menanyaiku.
Mataku spontan melihat ke kanan atas dan akhirnya menjawab, “aku sama, mi ayam saja. Minumnya teh anget aja ya bu.”
Wanita itu bertanya lagi pada Rafa, “Lha masnya minumnya apa?.”
“Aku es teh aja bu.” Jawab Rafa sambil mengakhirinya dengan senyum. Dan wanita itu meninggalkan kami.


Kami diam beberapa waktu, aku masih sibuk membuka dompet pouch  ku dan mengecek smartphone serta handphone ku. Sebelum berangkat ke tempat ini, aku menerima pesan BBM dari sahabatku, dia berkata ingin bercerita sesuatu padaku. Aku ingin memastikan apakah ada sesuatu yang terjadi padanya. Di dalam pesannya dia berkata, “Nanti kuceritakan pas kita ketemu, kamu ada dimana?”. Segera aku balas pesannya, “oke, nanti sekitar jam 2 aku ke rumahmu. Aku lagi ada di sekitar pasar.”
Setelah selesai membalas pesan itu aku segera memasukan smartphone serta handphone ku masuk kembali ke dalam dompet pouch ku.

Aku mulai mencuri pandang pada Rafa. Laki-laki berkaca mata itu mengenakan topi berwarna hitam, kaos polo berwarna biru terang dan celana panjang hitam. Aku sudah lama tak melihatnya sedekat ini, mungkin hampir 6 bulan berlalu sejak pertemuan di restoran ayam goreng itu. Aku tertangkap basah sedang memperhatikannya, aku sedikit terkaget dan terkesiap saat dia mulai bertanya padaku, “Dan, penampilanmu hari ini kok seperti ibu guru?”
“Ah masa Raf?, tapi kayaknya iya sih.” Aku melempar senyum sambil memperhatikan penampilanku sendiri dari atas sampai bawah.
“Kamu katanya sudah gak betah bekerja disitu, kok masih disitu?”Dengan nada bicara sedikit menyindir halus.
“Hehehe…”Aku tertawa kecil sambil menahan malu, sepertinya Rafa cukup paham tentang sosok Dania.
“Hmm, iya sih, tapi mau bagaimana lagi. Cari kerja yang lain belum dapet Raf.” Lanjutku sambil tersenyum sok imut.

Sesekali suara motor dan kendaraan lainnya mengganggu percakapan kami, kadang aku harus beberapa kali mengulang kalimat yang aku ucapkan kepada Rafa. Tetapi saat dia mulai lelah berusaha mendengarkan perkataanku yang tak mampu juga ia tangkap maksudnya, dia berkata “Ah kamu ini ngomong apa sih? Aku lho gak denger.” Sambil tersenyum mengejekku.
“Ah udah lupain aja.”Jawabku sambil mengerutkan dahiku dan menampakkan wajah cemberut padanya. Namun ia tetap saja tersenyum, sepertinya ia senang menggodaku dengan hal-hal kecil seperti ini. Dia tetap menawan meski sedang mengejekku atau sedang membercandaiku tentang hal-hal kecil yang kadang ada padaku atau yang sering ku alami.

Saat pesanan kami datang, kami mulai menyantap mi ayam pangsit tersebut. Sebelumnya kami tak lupa menambahkan beberapa bumbu pelengkap seperti saus tomat, sambal, dan kecap. Aku mulai memasukkan kecap dan sambal ke mangkuk mi ayam pangsitku, beberapa kali aku mencoba mengaduknya agar kecap dan sambalnya tercampur rata. Rafa mulai melirik mangkuk mi ayam pangsitku.
“Kok warnanya pucet gitu, terus minumnya juga teh anget. Wah lagi sakit beneran ya?”Senyum khasnya saat mengejekku muncul kembali.
“Gak lah, aku emang gak suka saus tomat. Tapi punyamu warnanya lebih menarik ya.”aku sambil melirik mangkuk mi ayam pangsitnya
dengan penuh rasa tertarik untuk mencicipi miliknya.
“Ah sudahlah ayo makan dulu.”Aku berusaha menyudahi pembahasan tentang mi ayam pangsit kami masi
ng-masing.

Sesekali hening terasa di antara kami, hanya suara srutupan saat kami memasukan mi lezat itu kedalam mulut kami. Aku beberapa kali mengelap bibirku dengan tisu setelah melahap dua atau tiga kali suapan mi ayam pangsit tersebut. Aku terlihat tenang melahap perlahan-lahan mi ayam pangsit itu. Namun pikiranku menyeretku ke dalam memori tiga bulan lalu.
“Dan, nanti siang ada waktu gak?aku mau minta tolong kamu boleh.”sebuah pesan singkat dari Rafa masuk ke hanphone ku sekitar jam 9 pagi. Segera aku membalasnya.
“Iya ada apa Raf?”
“Aku mau ketemu kamu nanti, mau nitip hadiah buat Aliza. Bisa gak?”

Membaca pesan itu hatiku seakan tertimpa batu besar. Kenapa harus Aliza? Aku tau dia beberapa hari lalu memang berulang tahun. Kenapa Rafa sampai sempat memberikan hadiah ulang tahun itu untuknya. Apa Rafa mulai menyukai Aliza? Sebuah kedekatan yang tak sengaja mereka jalin karena aku beberapa kali membuat mereka bertemu dalam beberapa momen. Aku tersadar setelah beberapa menit terbuai dalam lamunan itu, segera aku membalas pesannya.
“ Iya Raf, nanti siang aku tunggu di Restoran ayang goreng biasanya.”
“Oke Dan, aku tunggu jam 1. Makasih sebelumnya.”

Dengan harapan ini hanya mimpi, aku tetap membantunya sambil menahan rasa cemburu yang cukup membakar hatiku. Aku tak mau membenci karena Aliza adalah sahabat terbaikku, dia hanya lebih beruntung dalam urusan cinta dari pada aku, dia dicintai oleh banyak laki-laki. Sedangkan aku, yang melirikpun paling hanya satu orang diantara seribu laki-laki yang ada. Itu benar-benar bukan masalah bagiku, memiliki sahabat seperti Aliza adalah anugrah besar dari Tuhan dari pada hanya sekedar dicintai laki-laki yang mengajak pacaran seperti halnya cinta monyet anak SMA. Sejak kejadian itu aku mulai menjaga jarak dengan Rafa, aku merasa harus menyisihkan diri dari cerita yang pernah ingin aku rangkai bersamanya.

Sepertinya Rafa menangkap bahasa tubuhku yang sedang melamun sambil menikmati mi ayam pangsit itu. Dia membuyarkan lamunanku dengan suara serak khasnya.
“Dania.., kok makan sambil ngelamun?”
“Em..Apa?Aku gak ngelamun kok.”Sambil ku benahi lipatan jilbabku yang agak terasa tak simetris lagi.
“Alah...bohong ah. Itu keliatan di jidatmu, lagi mikirin sesuatu.”
“Haha...sok tau ah kamu Raf.” Aku mulai tertawa lepas melihat wajah penasarannya.
“Kamu gak ngajak Aliza?”Mulutku tanpa terkontrol tiba-tiba mengucapkan pertanyaan itu.
“Haha...gak, aku kan pengennya cuma berdua sama kamu.” Dia tertawa seperti menggodaku.
“Alah..gombal aja kau ini Raf.”Perasaan senang sebenarnya menghinggapi hatiku.
“Aku tak pernah ada apa-apa dengan Aliza, aku memberikan hadiah ulang tahun itu yang pernah ku titipkan padamu adalah hanya karena aku tak sengaja menemukan benda yang sedang ia cari. Soal aku tak memberi hadiah ulang tahun di bulan Mei lalu untukmu adalah karena aku terlalu malu memberikannya. Aku bahkan masih menyimpan hadiah itu sekarang. Di kesempatan ini, aku memberanikan diri untuk memberikannya padamu.”

Hujan deras tiba-tiba turun, meski langit terlihat terang seakan tak tertutupi awan gelap. Hujan semakin deras, membuat otakku seakan ikut bekerja keras untuk mencari jawaban tentang apa yang sebenarnya Rafa lakukan. Aku merasa seperti seorang yang ketahuan mencintainya diam-diam. Kakiku rasanya ingin ku ajak lari sejauh mungkin dari tempat itu, entah karena merasa terlalu malu atau sedang merasa terlalu bahagia. Aku terdiam beberapa saat. Sambil merangkai kata di dalam otakku untuk kukatakan padanya.
“Maksudnya apa Raf? Kamu ingin bertemu denganku karena ingin memberi aku hadiah itu?”Ada sedikit getar di ujung kata-kataku.
“Iya, terima saja ini.” Ia menyodorkan sebuah kotak berukuran 20x15cm ke arahku.
Aku menerima kotak tersebut dengan kedua tanganku, ada sedikit keraguan untuk menerimanya, namun tatapan matanya seakan mampu meyakinkanku untuk menerimanya.
“Terima saja, aku harap kamu suka. Ayo habiskan mi ayamnya. Sepertinya hujan mulai reda, aku ada acara habis ini soalnya Dan.” Senyum manis itu terbit dari bibirnya.
“Iya Raf.” Aku mengangguk sambil menata pikiranku lagi yang sempat melayang tak karuan.

Aku menyelesaikan makananku, setelah itu Rafa segera menghampiri wanita penjual mi ayam pangsit itu dan menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Aku tak memperhatikan lagi berapa kembalian yang diberikan kepada Rafa. Segera setelah itu Rafa menghampiri motornya, menyalakan mesin motornya dan dengan singkat berpamitan padaku.
“Maaf ya Dan, aku lagi buru-buru. Kamu hati-hati di jalan.”Lalu ia berlalu pergi dan semakin jauh dari tempatku berdiri.

Aku segera pulang dan tak sabar ingin membuka kotak itu. setelah sampai di rumah aku berlari kecil ke kamar, sehingga ibuku merasa aneh dan menanyaiku. “Ada apa dan kok buru-buru masuk kamar?”. Aku hanya menjawab singkat pertanyaan ibuku. “Gak ada apa-apa bu.” Sambil menahan senyum yang sedari tadi aku tahan karena terlalu bahagia mendapatkan kotak hadiah itu.

Di kamar kecilku yang hanya berukuran 4x3 meter aku duduk di atas kasur empukku, perlahan ku buka kotak itu dan aku melihat buku catatan, semacam buku diary cewek berwarna merah jambu bertuliskan “I Found The Love” di sampulnya. Kalimat itu membuatku cukup merasa kaget, apa ini sengaja ia berikan padaku?, hatiku tak berhenti bertanya banyak hal. Setelah aku buka sampul depan, ku temukan sebuah tulisan di halaman pertama.

“Aku tahu kamu suka menulis, aku berharap aku akan ada dalam tulisan-tulianmu. Aku ingin jadi tokoh utama dalam cerita cintamu, menjadi tokoh utama yang memiliki akhir cerita yang bahagia bersamamu. Aku ingin abadi bersamamu lewat cerita cinta dalam tulisan-tulisanmu.”
Rafa

Aienzova

0 komentar:

Posting Komentar