Jumat, Desember 30, 2016

Aku Kalah dan Terjatuh lagi

Aku menyerah, seperti kau tahu. Sebenarnya aku membenci kekalahan. Namun kali ini aku merasa sedang mengalahkan egoku. Namun benarkah? Atau aku hanya menuruti nafsuku. Haruskah perasaan ini dengan kejam ku anggap sehina nafsu belaka? Apa Tuhan mengerti apa yang aku inginkan sekarang? Mungkin ada toleransi untuk perasaanku, namun bukan dengan caraku menjagamu tetap di sisiku.





Lantas aku harus apa? Berjalan seperti mauku? Atau aku berjalan seperti mau nya takdir? Atau benarkah aku sudah berjalan seperti mau nya takdir? Aku sedang menunggu semesta memberi restu untuk pilihanku. Aku pikir ia tahu cara mempertemukan dan memisahkan dua manusia yang hatinya sudah terlanjur tertaut.

Jadi pada akhirnya aku harus memilih menyerah dengan rasa. Setelah lama berpura-pura. Setelah lama berjuang meninggikan dan mengokohkan tembok yang melindungi hatiku agar tak ada yang memasuki. Akhirnya semua itu runtuh. Dan kulihat rerumputan hijau menghiasi dunia luar dari tembok pertahanan yang ku bangun selama ini. Ribuan bunga ikut bermekaran, bersama kumbang yang berterbangan di hamparan taman bunga. Yah, bayangkan saja indahnya bak negri dongeng. Aku seperti tuan Puteri yang keluar dari penjara menara Rapunzel. Dan menemukan tempat tujuan yang lebih indah.

Tak apa kau menyerah kali ini, aku berkata pada diriku. Tuhan mengerti waktu yang tepat untuk membuatmu jatuh hati pada seseorang. Meski yang tak pernah ku mengerti. Apa mungkin takdir mau merengkuh aku dan kau menjadi kita selamanya.

Jatuh cinta tidak bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.” Garis waktu-Fiersa Besari


Lantas aku mencoba menjadi udara yang mengisi rongga dadamu. Sepertinya wajahmu bersinar lagi karena lega, dan aku juga begitu bahagia melihatmu seperti biasa. 

Mungkin aku terlalu kejam membuatmu menjadikan aku udara yang mengisi rongga dadamu. Tanpa berpikir bisakah itu selamanya? Andai aku tiba-tiba pergi, kau bagaimana? Aku sempat memikirkannya, namun perlahan aku mulai lupa itu akan terjadi. Karena badai sempat mereda dan berlalu, hari-hari itu begitu cerah tanpa ada tanda-tanda mendung akan menjadi badai besar yang mengobrak-abrik semua sisa-sisa tenaga kita tuk bertahan di ‘rumah’ kita.

Waktu berjalan begitu lambat, sekarang. Namun sebenarnya ini waktu yang singkat untuk kisah sebuah kisah.

Ini seperti jalan berliku dan menikung tajam bagiku. Saat pikiranku tak mau sejalan dengan perasaanku. Saat nafsuku tak bisa ku bedakan dengan suara hatiku. Hatiku yang paling dalam menginginkan aku pulang ke jalan yang di anggapnya tepat. Lalu sisi lain hatiku berontak ingin menggenggammu erat. Akhirnya aku memberi jarak, aku menunggu waktu. Menunggu waktu menyelesaikan semua, dan kita harus berjarak. Kita mulai terluka, namun lukamu mungkin lebih biru dariku.


Cinta sejati itu indah, bukan rumit. Yang kau rasa rumit, lepaskanlah. Mereka selalu berkata seperti itu. Aku sedang ingin mempercayai itu. Atau hatiku yang terlalu rumit? Jika iya, maafkan aku yang rumit. Aku rasa aku memang diciptakan serumit ini. 
 

0 komentar:

Posting Komentar