Lantas aku harus apa? Berjalan seperti mauku? Atau aku
berjalan seperti mau nya takdir? Atau benarkah aku sudah berjalan seperti mau
nya takdir? Aku sedang menunggu semesta memberi restu untuk pilihanku. Aku
pikir ia tahu cara mempertemukan dan memisahkan dua manusia yang hatinya sudah
terlanjur tertaut.
Jadi pada akhirnya aku harus memilih menyerah dengan rasa.
Setelah lama berpura-pura. Setelah lama berjuang meninggikan dan mengokohkan
tembok yang melindungi hatiku agar tak ada yang memasuki. Akhirnya semua itu
runtuh. Dan kulihat rerumputan hijau menghiasi dunia luar dari tembok
pertahanan yang ku bangun selama ini. Ribuan bunga ikut bermekaran, bersama
kumbang yang berterbangan di hamparan taman bunga. Yah, bayangkan saja indahnya
bak negri dongeng. Aku seperti tuan Puteri yang keluar dari penjara menara
Rapunzel. Dan menemukan tempat tujuan yang lebih indah.
Tak apa kau menyerah kali ini, aku berkata pada diriku. Tuhan mengerti waktu yang
tepat untuk membuatmu jatuh hati pada seseorang. Meski yang tak pernah ku
mengerti. Apa mungkin takdir mau merengkuh aku dan kau menjadi kita selamanya.
“Jatuh cinta tidak bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.” Garis waktu-Fiersa Besari
Lantas aku mencoba menjadi udara yang mengisi rongga dadamu.
Sepertinya wajahmu bersinar lagi karena lega, dan aku juga begitu bahagia
melihatmu seperti biasa.
Mungkin aku terlalu kejam membuatmu menjadikan aku udara
yang mengisi rongga dadamu. Tanpa berpikir bisakah itu selamanya? Andai aku
tiba-tiba pergi, kau bagaimana? Aku sempat memikirkannya, namun perlahan aku
mulai lupa itu akan terjadi. Karena badai sempat mereda dan berlalu, hari-hari
itu begitu cerah tanpa ada tanda-tanda mendung akan menjadi badai besar yang
mengobrak-abrik semua sisa-sisa tenaga kita tuk bertahan di ‘rumah’ kita.
Waktu berjalan begitu lambat, sekarang. Namun sebenarnya ini
waktu yang singkat untuk kisah sebuah kisah.
Cinta sejati itu indah, bukan rumit. Yang kau rasa rumit,
lepaskanlah. Mereka selalu berkata seperti itu. Aku sedang ingin mempercayai itu. Atau hatiku yang terlalu rumit? Jika iya, maafkan aku yang rumit. Aku rasa aku memang diciptakan serumit ini.
0 komentar:
Posting Komentar