Sabtu, Agustus 30, 2014

Perpisahan tuk Melepaskanmu

Sejak perpisahan itu namanya tak pernah pudar dalam ingatannya, semakin kuat dan semakin jelas bersinar bak bulan purnama di malam hari. Sheina tak pernah menyangka keputusannya untuk merelakan laki-laki tangguh yang mampu membuat hatinya melejit bak roket saat didekatnya itu menjadi kesedihan yang ternyata menyisakan sesal. Di malam yang sunyi setelah kejadian itu, sheina hanya mengurung diri dikamar dengan linangan air mata yang terus jatuh membasahi pipi dinginnya yang tersentuh angin malam dari jendela kamarnya yang masih terbuka. Dia masih terus mengingat dan mengurai kejadian sore tadi.


“Sheina, bagaimana kabarmu?” tanya ramah seorang laki-laki bernama Chiko yang membuat hati sheina terus berdegup kencang. Dan ia yang akan segera kembali ketempat yang jauh dari tempat Sheina tinggal tuk melanjutkan karirnya.

“ aku baik-baik saja seperti yang kau lihat.” Jawabnya singkat tanpa bertanya balik kabar chiko. Sheina tak pernah mampu menatap wajah dan mata chiko saat berbicara, dia merasa perasaannya akan menjadi kacau jika melakukannya.

“ Kenapa sih dari kemarin kamu gak membalas smsku?” Chiko mulai memecah keheningan suasana pertemuan mereka yang tiba-tiba tercipta. Ada perasaan canggung yang terus meliputi mereka berdua.

“ Maaf, aku sedang gak enak badan. Aku tidak memperhatikan ponselku.” Jawabnya dengan suara halus.

“Kamu sakit?sakit apa?” Chiko terlihat khawatir sambil memandang lekat mata Sheina. Dia coba menerka apa yang sebenarnya terjadi pada Sheina.

“ Aku baik-baik saja, tidak perlu mengkhawatirkanku. Jam berapa bus-mu akan datang?.” Sheina mencoba mengalihkan pembicaraan. Sambil menahan sesak yang tiba-tiba menyerbu dadanya melihat kepedulian Chiko, orang yang selama ini dia sayangi. Namun tak pernah tau bagaimana harus bersikap, karena Chiko sering memunculkan harapan itu, namun sering pula menghancurkannya. Sheina kadang juga berpikir, mungkinkah dirinya sendiri yang terlalu menaruh harapan besar pada Chiko. Pertanyaan itu belum bisa terjawab hingga saat pertemuan perpisahan melepas Chiko.

“Sebentar lagi, sekitar setengah lima. Bagaimana kuliahmu?Oh ya, kabar ayah bundamu bagaimana?sehatkan?” pertanyaan itu mengalir santai dari mulut Chiko.

“ Semua sehat dan baik-baik saja.” jawab singkat Sheina sembari melepas senyum tipis.

“Syukurlah, senang mendengarnya. Oh ya, aku boleh minta tolong gak? Tolong sampaikan maafku pada Vina. Kemarin-kemarin gak bisa silaturahmi kerumahnya. Karena ada sesuatu. Nanti kalau ketemu tolong sampaikan ya.”

“Baiklah, nanti kalau ketemu akan kusampaikan.” Sedikit berat hati mendengar kata-kata itu, bukan karena Vina adalah gadis spesial untuk Chiko, namun karena yang dibicarakan jauh dari hal penting menurut Sheina yang harus disampaikan di momen perpisahan seperti ini.

“ Ya sudah, hari semakin sore. Pulanglah...” Kata-kata itu meluncur dari mulut Chiko.

“ Ya sudah aku akan pulang.” Sheina mengiyakan dengan mulutnya namun tak begitu dengan hatinya. Ia menolak keras, andai jeritan hatinya bisa mengalahkan logika dan otaknya. Pelukan hangat Sheina kan mendarat di tubuh Chiko. Seakan dia ingin menjelaskan semua perasaannya tanpa perlu terlalu banyak kata. Namun itu takkan pernah terjadi, alam semesta tak pernah  mengizinkan momen itu. Angin kencang pinggir jalan seperti menyuruh langkah kaki Sheina tuk terus melangkah pulang. 

Ia menghidupkan motor bebek nya, dan berlalu pergi. Chiko terus memandangi sosok Sheina yang semakin lama semakin jauh meninggalkannya. Dan hilang di perempatan jalan. Ia menghela nafas panjang, seakan menyimpan sesal mendalam di hatinya. “Kenapa aku tak mampu mengatakannya?” gumamnya.


Di perjalanan ia berhenti sejenak di antara para pedagang kaki lima. Ia mencoba menenangkan hatinya yang sejak tadi terus resah. Ia menjatuhkan pilihan pada seorang pedagang jus, ia memesan jus stoberi kesukaannya. Sembari dudukpun ia terus menenangkan hatinya, tiba-tiba suara ponselnya tanda sms masuk berbunyi. “tok..tok..”

Suara ringtone yang cukup simple, dan segera ia membuka dan membacanya. Chiko, nama itu menghiasi layar ponselnya.

“ Gagal, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Namun tak bisa.” Pesan singkat dari Chiko itu membuat Sheina sangat terkejut berselimut kecewa. “Itu yang sebenarnya aku tunggu.” Hatinya lembutnya menjawab.


Dengan terus di ganggu perasaan penasaran dan kekecewaan, Sheina mencoba membalas pesan itu. “Seharusnya jika kau serius, kau akan berani mengatakan apapun itu padaku, apapun keadaanya.” Sheina langsung memencet tombol kirim.


Beberapa menit berlalu, dan sebuah sms masuk lagi ke ponsel Sheina. “Aku takut kau marah ataupun kecewa. Karena aku ingat, sempat aku menyinggung masalah tentang kita padamu, kau seperti  menghindar dan hanya diam.”


Helaan nafas Sheina terdengar panjang. Mengisyaratkan bahwa dia sangat kecewa. Ingin rasanya ia menumpahkan kekecewaanya itu dengan menangis saat itu pula, namun ia malu jika dunia melihatnya menangis karena laki-laki yang tidak tahu siapa bagi dirinya. Meski sangat jelas untuk hatinya.


Hari itu seakan hatinya mulai redup, tanpa sinar yang selalu Chiko pancarkan dihari-harinya. Hari semakin petang. Ia bergegas pulang karena adzan maghrib telah berkumandang di masjid-masjid. Ia mulai memalingkan hatinya pada sang Maha Pengasih. Ia tersadar kembali bahwa Dia lah pemilik segala cinta, Dia lah sang Maha Cinta.

“ Dia pemilik segala cinta, cinta ini ada karena izin-Nya pula. Namun jika cinta ini harus pergi pula, mungkin ini juga mau-Nya. Mungkin kali ini hatiku tak salah. Hatiku memintaku untuk melepaskannya. Kembalikan semua urusan itu kepada sang Maha Cinta. Jangan genggam ia terlalu kuat. Karena bisa jadi ia akan lepas dengan sendirinya. Namun jika aku melepaskannya, aku akan tahu jawaban dari semua tanya hatiku. Jika ia kembali padaku, sang Maha Cinta merestui rasaku. Namun jika ia berlalu dengan yang lain, Mungkin sang Maha Cinta ingin mempertemukan aku dengan orang yang lebih tepat untukku.” Ada sosok bijak di diri Sheina yang berbisik jelas di hatinya.


Bibirnya seketika terlukis sebuah senyum, seakan berarti ia mampu menghadapi dunia yang entah tak tau arahnya. Tersadar waktu maghrib cepat berlalu, sesampainya dirumah ia segera mensucikan dirinya dengan wudlu dan segera menghadap solat pada-Nya.



Usai melakukan solat, ia tak lupa berdoa. Dengan hati rapuhnya saat itu, dia menumpahkan semua perasaannya pada-Nya Yang Maha Mendengar. Tak terasa air mata tumpah membasahi mukena dan sajadahnya. Ia merasa kecil dan tak berdaya tanpa-Nya.


Segera setelah itu dia mencoba memencet-mencet tombol ponselnya tuk merangkai kata pelepasan yang mungkin bisa jadi akhir, atau bisa saja jadi awal dari sebuah perjalanan cinta yang sebenarnya.

“ Aku tk ingin lg bermain2in dgn semua perasaan ini. Aku butuh keseriusan. Aku tk pernah berharap status ataupun perhatian setiap harimu, namun saat ini sepertinya kau blm mampu. Aku melepaskanmu, mengikhlaskanmu dengan siapapun. Biarkan jarak ini terus tercipta. Jgn hbungi aku untuk hal2 tk penting, ckup hal2 penting saja yg kau sampaikan padaku.” Tombol kirimpun segera ia pencet, meski dalam beberapa detik ia masih menyimpan ragu. Ia terus berharap yang ia lakukan telah benar, meski ada sudut kecil hatinya ada yang coba menolaknya. Namun di sudut yang lebih besar meneriakan suara lantang bahwa ia telah benar.


Cukup lama ia resah menunggu balasan, namun akhirnya suara ringtone ponselnya berbunyi. Ia segera membuka pesan itu yang diyakininya dari Chiko.

“ Apa km yakin akn mengakhiri ini? aku ternyta tlh gagal selama ini. Aku akn instrospeksi diriku sendiri, mgkn ada yg slah sehingga seperti ini. Aku skrg memang belum mampu untuk lebih serius padamu, namun sepertinya km sdh tdk sabar. Biasanya org yang memutuskan, akan lebih bahagia. Jk memng seperti itu carilah org yg lebih baik diluar sana.” Pesan dari Chiko itu sangat mengganggu hati dan pikiran Sheina. Perasaan bersalah itu seketika terbit dalam hatinya. Sempat sesak dalam dada seakan menghentikan nafas dalam dirinya. Namun ternyata dunia masih berputar, ia sadar inilah kenyataan yang harus dia hadapi saat ia memenangkan suara lantang di sudut besar hatinya. Ia tak mampu berkata lagi, diam adalah hal ternyaman saat itu untuknya.


Dan disinilah, dikamarnya ia mampu menumpahkan air matanya yang sejak dari sore itu tertahan. Ia tak perduli tembok kamarnya menertawainya atas keputusan yang sempat menyisakan sesal. Ia menangis di malam yang semakin sunyi, dan semakin dingin. Sampai ia tertidur, dan dalam hatinya ia berharap ini hanya mimpi. Dan esok semua akan baik-baik saja, dan hatinya tak sekacau malam ini.

“Selamat tidur, wahai kau yang telah kulepaskan....”


Minggu, 31 Agustus 2014

-Aien Mars -

0 komentar:

Posting Komentar