Sejak
perpisahan itu namanya tak pernah pudar dalam ingatannya, semakin kuat dan
semakin jelas bersinar bak bulan purnama di malam hari. Sheina tak pernah
menyangka keputusannya untuk merelakan laki-laki tangguh yang mampu membuat
hatinya melejit bak roket saat didekatnya itu menjadi kesedihan yang ternyata
menyisakan sesal. Di malam yang sunyi setelah kejadian itu, sheina hanya
mengurung diri dikamar dengan linangan air mata yang terus jatuh membasahi pipi
dinginnya yang tersentuh angin malam dari jendela kamarnya yang masih terbuka.
Dia masih terus mengingat dan mengurai kejadian sore tadi.
“Sheina, bagaimana
kabarmu?” tanya ramah seorang laki-laki bernama Chiko yang membuat hati sheina
terus berdegup kencang. Dan ia yang akan segera kembali ketempat yang jauh dari tempat Sheina tinggal tuk melanjutkan karirnya.
“ aku baik-baik saja
seperti yang kau lihat.” Jawabnya singkat tanpa bertanya balik kabar chiko.
Sheina tak pernah mampu menatap wajah dan mata chiko saat berbicara, dia merasa
perasaannya akan menjadi kacau jika melakukannya.
“ Kenapa sih dari
kemarin kamu gak membalas smsku?” Chiko mulai memecah keheningan suasana
pertemuan mereka yang tiba-tiba tercipta. Ada perasaan canggung yang terus
meliputi mereka berdua.
“ Maaf, aku sedang gak enak badan. Aku tidak memperhatikan ponselku.” Jawabnya
dengan suara halus.
“Kamu sakit?sakit apa?”
Chiko terlihat khawatir sambil memandang lekat mata Sheina. Dia coba menerka
apa yang sebenarnya terjadi pada Sheina.
“ Aku baik-baik saja, tidak
perlu mengkhawatirkanku. Jam berapa bus-mu akan datang?.” Sheina mencoba mengalihkan
pembicaraan. Sambil menahan sesak yang tiba-tiba menyerbu dadanya melihat
kepedulian Chiko, orang yang selama ini dia sayangi. Namun tak pernah tau
bagaimana harus bersikap, karena Chiko sering memunculkan harapan itu, namun
sering pula menghancurkannya. Sheina kadang juga berpikir, mungkinkah dirinya
sendiri yang terlalu menaruh harapan besar pada Chiko. Pertanyaan itu belum
bisa terjawab hingga saat pertemuan perpisahan melepas Chiko.
“Sebentar lagi, sekitar
setengah lima. Bagaimana kuliahmu?Oh ya, kabar ayah bundamu bagaimana?sehatkan?”
pertanyaan itu mengalir santai dari mulut Chiko.
“ Semua sehat dan
baik-baik saja.” jawab singkat Sheina sembari melepas senyum tipis.
“Syukurlah, senang
mendengarnya. Oh ya, aku boleh minta tolong gak? Tolong sampaikan maafku pada
Vina. Kemarin-kemarin gak bisa silaturahmi kerumahnya. Karena ada sesuatu. Nanti
kalau ketemu tolong sampaikan ya.”
“Baiklah, nanti kalau
ketemu akan kusampaikan.” Sedikit berat hati mendengar kata-kata itu, bukan
karena Vina adalah gadis spesial untuk Chiko, namun karena yang dibicarakan
jauh dari hal penting menurut Sheina yang harus disampaikan di momen perpisahan
seperti ini.
“ Ya sudah, hari semakin
sore. Pulanglah...” Kata-kata itu meluncur dari mulut Chiko.
“ Ya sudah aku akan
pulang.” Sheina mengiyakan dengan mulutnya namun tak begitu dengan hatinya. Ia menolak
keras, andai jeritan hatinya bisa mengalahkan logika dan otaknya. Pelukan
hangat Sheina kan mendarat di tubuh Chiko. Seakan dia ingin menjelaskan semua
perasaannya tanpa perlu terlalu banyak kata. Namun itu takkan pernah terjadi, alam
semesta tak pernah mengizinkan momen
itu. Angin kencang pinggir jalan seperti menyuruh langkah kaki Sheina tuk terus
melangkah pulang.
Ia menghidupkan motor bebek nya, dan berlalu pergi. Chiko terus
memandangi sosok Sheina yang semakin lama semakin jauh meninggalkannya. Dan hilang
di perempatan jalan. Ia menghela nafas panjang, seakan menyimpan sesal mendalam
di hatinya. “Kenapa aku tak mampu mengatakannya?” gumamnya.
Di perjalanan ia berhenti sejenak di antara para pedagang kaki lima. Ia mencoba
menenangkan hatinya yang sejak tadi terus resah. Ia menjatuhkan pilihan pada
seorang pedagang jus, ia memesan jus stoberi kesukaannya. Sembari dudukpun ia
terus menenangkan hatinya, tiba-tiba suara ponselnya tanda sms masuk berbunyi. “tok..tok..”
Suara ringtone yang cukup simple, dan segera ia membuka dan
membacanya. Chiko, nama itu menghiasi layar ponselnya.
“ Gagal, aku ingin
mengatakan sesuatu padamu. Namun tak bisa.” Pesan singkat dari Chiko itu
membuat Sheina sangat terkejut berselimut kecewa. “Itu yang sebenarnya aku
tunggu.” Hatinya lembutnya menjawab.
Dengan terus di ganggu perasaan penasaran dan kekecewaan, Sheina mencoba
membalas pesan itu. “Seharusnya jika kau serius, kau akan berani mengatakan
apapun itu padaku, apapun keadaanya.” Sheina langsung memencet tombol kirim.
Beberapa menit berlalu, dan sebuah sms masuk lagi ke ponsel Sheina. “Aku
takut kau marah ataupun kecewa. Karena aku ingat, sempat aku menyinggung
masalah tentang kita padamu, kau seperti menghindar dan hanya diam.”
Helaan nafas Sheina terdengar panjang. Mengisyaratkan bahwa dia sangat
kecewa. Ingin rasanya ia menumpahkan kekecewaanya itu dengan menangis saat itu
pula, namun ia malu jika dunia melihatnya menangis karena laki-laki yang tidak
tahu siapa bagi dirinya. Meski sangat jelas untuk hatinya.
Hari itu seakan hatinya mulai redup, tanpa sinar yang selalu Chiko
pancarkan dihari-harinya. Hari semakin petang. Ia bergegas pulang karena adzan
maghrib telah berkumandang di masjid-masjid. Ia mulai memalingkan hatinya pada
sang Maha Pengasih. Ia tersadar kembali bahwa Dia lah pemilik segala cinta, Dia
lah sang Maha Cinta.
“ Dia pemilik segala
cinta, cinta ini ada karena izin-Nya pula. Namun jika cinta ini harus pergi
pula, mungkin ini juga mau-Nya. Mungkin kali ini hatiku tak salah. Hatiku memintaku
untuk melepaskannya. Kembalikan semua urusan itu kepada sang Maha Cinta. Jangan
genggam ia terlalu kuat. Karena bisa jadi ia akan lepas dengan sendirinya.
Namun jika aku melepaskannya, aku akan tahu jawaban dari semua tanya hatiku. Jika
ia kembali padaku, sang Maha Cinta merestui rasaku. Namun jika ia berlalu
dengan yang lain, Mungkin sang Maha Cinta ingin mempertemukan aku dengan orang yang
lebih tepat untukku.” Ada sosok bijak di diri Sheina yang berbisik jelas di
hatinya.
Bibirnya seketika terlukis sebuah senyum, seakan berarti ia mampu menghadapi
dunia yang entah tak tau arahnya. Tersadar waktu maghrib cepat berlalu,
sesampainya dirumah ia segera mensucikan dirinya dengan wudlu dan segera
menghadap solat pada-Nya.
Usai melakukan solat, ia tak lupa berdoa. Dengan hati rapuhnya saat itu,
dia menumpahkan semua perasaannya pada-Nya Yang Maha Mendengar. Tak terasa air
mata tumpah membasahi mukena dan sajadahnya. Ia merasa kecil dan tak berdaya
tanpa-Nya.
Segera setelah itu dia mencoba memencet-mencet tombol ponselnya tuk
merangkai kata pelepasan yang mungkin bisa jadi akhir, atau bisa saja jadi awal
dari sebuah perjalanan cinta yang sebenarnya.
“ Aku tk ingin lg bermain2in
dgn semua perasaan ini. Aku butuh keseriusan. Aku tk pernah berharap status
ataupun perhatian setiap harimu, namun saat ini sepertinya kau blm mampu. Aku
melepaskanmu, mengikhlaskanmu dengan siapapun. Biarkan jarak ini terus tercipta.
Jgn hbungi aku untuk hal2 tk penting, ckup hal2 penting saja yg kau sampaikan
padaku.” Tombol kirimpun segera ia pencet, meski dalam beberapa detik ia masih
menyimpan ragu. Ia terus berharap yang ia lakukan telah benar, meski ada sudut
kecil hatinya ada yang coba menolaknya. Namun di sudut yang lebih besar
meneriakan suara lantang bahwa ia telah benar.
Cukup lama ia resah menunggu balasan, namun akhirnya suara ringtone
ponselnya berbunyi. Ia segera membuka pesan itu yang diyakininya dari Chiko.
“ Apa km yakin akn
mengakhiri ini? aku ternyta tlh gagal selama ini. Aku akn instrospeksi diriku
sendiri, mgkn ada yg slah sehingga seperti ini. Aku skrg memang belum mampu
untuk lebih serius padamu, namun sepertinya km sdh tdk sabar. Biasanya org yang
memutuskan, akan lebih bahagia. Jk memng seperti itu carilah org yg lebih baik
diluar sana.” Pesan dari Chiko itu sangat mengganggu hati dan pikiran Sheina. Perasaan
bersalah itu seketika terbit dalam hatinya. Sempat sesak dalam dada seakan
menghentikan nafas dalam dirinya. Namun ternyata dunia masih berputar, ia sadar
inilah kenyataan yang harus dia hadapi saat ia memenangkan suara lantang di
sudut besar hatinya. Ia tak mampu berkata lagi, diam adalah hal ternyaman saat
itu untuknya.
Dan disinilah, dikamarnya ia mampu menumpahkan air matanya yang sejak dari
sore itu tertahan. Ia tak perduli tembok kamarnya menertawainya atas keputusan
yang sempat menyisakan sesal. Ia menangis di malam yang semakin sunyi, dan semakin
dingin. Sampai ia tertidur, dan dalam hatinya ia berharap ini hanya mimpi. Dan esok
semua akan baik-baik saja, dan hatinya tak sekacau malam ini.
“Selamat tidur, wahai kau
yang telah kulepaskan....”
Minggu, 31 Agustus 2014
-Aien Mars -
0 komentar:
Posting Komentar