Jumat, Agustus 15, 2014

Pertemuan dengan Sang Perpisahan

    Ada suara hati yang seakan bersuara sumbang ketika aku mau melangkahkan kaki menuju pertemuan itu. Dari beberapa tahun lalu dia selalu kembali ke tempat perantauannya, namun ini tak biasa karena aku bisa menemuinya sebelum ia pergi. Semua ini sempat membuat langkah kakiku berhenti karena meragu. Akan ada hal apa dalam pertemuan ini?hati bergumam sendiri.

       Kau berkata dalam sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku bahwa kau masih menungguku. Akhirnya ku paksa hatiku tuk berani bertemu denganmu. Jantungku terus berdentum dengan debar tak beraturan. Ada yang aku khawatirkan. Sebenarnya aku tak menyiapkan ekspektasi spesial dalam pertemuan ini denganmu. Namun yang aku harapkan pertemuan di akhir ini tak menyisakan semburat kekecewaan.

      Ku mulai mencari sosok gagah itu saat sampai ditempat ia akan segera pergi. Aku berhenti, aku memandanginya berharap dia melihatku. Akhirnya dia melihatku dan menghampiriku. Dengan senyum khas yang ramah ia ucapkan salam. Dengan menelangkupkan tangan di depan dada aku menjawabnya dengan wajah sumringah. Aku seakan tak percaya aku bisa menemuinya disini setelah melawan keraguan panjang.

     Kau mulai membuka pembicaraan, aku kira ini bagian dari basa-basi. Kau mulai tanyakan kabar, tanyakan kesehatanku, tanyakan temanku, yang seakan semuanya tak lebih penting dari tujuan utamamu ingin menemuiku. Hanya itu? Dan kau memintaku untuk pulang. Sebenarnya ada rasa kaget dan penasaran yang aku simpan. Tapi dengan ringannya hatiku menerima karena tak terlalu nyaman berbicara denganmu terlalu lama, jantungku tak mau berhenti berdegup kencang, bicaraku seakan gagap dan gerak tubuhku seakan tak natural,seperti  ada yang salah dengan tubuhku. Akhirnya aku melangkah pergi, meski perasaanku tak semudah langkah kakiku meninggalkan tempat itu.

   Ponselku berbunyi, aku telah merasa itu pasti dia. kubuka pesan itu perlahan. ya benar, ia bekata bahwa ada sesuatu yang tidak bisa disampaikan karena ada orang lain saat aku menemuinya. Aku tak menyadari ternyata ia tak nyaman dengan kedatanganku dengan seorang temanku. Perasaan yang selama perjalanan pulang tadi aku tenangkan kini seakan terusik kembali. Seperti ada bom atom besar yang memporak-porandakan hatiku. Semburat kecewa itu terbit bagai warna kejinggaan di langit yang mulai muncul di waktu senja itu. Hatiku bertanya mengapa, namun siapa yang mampu menjawab. Apa petang kan sudi menjawab kata mengapaku yang sederhana? Apakah bulan yang mulai menggantikan matahari mau menjelaskan dengan jelas pertanyaanku yang singkat dengan jawaban panjang yang mampu mengikis habis rasa penasaranku. Sesak, namun aku masih mampu bernafas.

     Hari itu lelah hatiku seakan memuncak. “Lepaskan...lepaskan...lepaskan dia!!! jangan biarkan kau menelan kekecewaan lagi dan lagi darinya. Dia akan kembali padamu jika memang dia ditakdirkan untukmu.” Ada seorang dewasa dalam diriku yang menyuarakan lembut kata itu. Namun serasa keras menampar perasaanku yang lama menyimpan cinta untuknya. Bimbang, berat dan tak karuan di dalam hatiku ini. Namun pada akhirnya suara itu kulaksanakan, bergerak seperti santri yang patuh pada kyai-nya. Mereka yakin kyai-nya memerintahkan hal yang baik untuk kebaikan  mereka semua.

      Ia telah lepas, namun aku tak mengerti apakah hati ini benar-benar telah rela. Entah, itu tak penting sekarang. Pikiranku melayang, ku berharap bisa memotong peta takdir dan sampai di saat aku bisa sembuh dari kecewa dan rela jika ia tak kembali padaku. Ataupun aku akan menemukan ia kembali padaku setelah kami dipisahkan oleh takdir sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar