Senin, Desember 28, 2015

Kisah Beberapa Batang Tebu



Aku tak berniat menceritakan sebuah legenda tentang batang tebu yang keramat ataupun asal-usul tanaman tebu. Aku ingat beberapa potongan batang tebu terbungkus plastik kresek merah dan beberapa kali jatuh di jalan tapi terus ku pungut kembali. Jalan itu memang tak bisa dibilang sangat jauh, hanya saja itu lumayan jauh untuk mempertahankan batang tebu tetap aman dan tak terjatuh dari pijakan kaki motor matic yang aku naiki bersama temanku.

Beberapa kali, satu atau dua potong batang tebu jatuh tercecer di jalan, dan kami berhenti untuk mengumpulkannya kembali ke dalam kantong kresek. Sempat ada rasa malu yang aku rasakan karena memunguti batang tebu yang terjatuh itu beberapa kali. Namun aku benar-benar berusaha mengabaikannya. Aku merasa aku harus menjaganya hingga sampai rumah seperti aku menjaga bongkahan emas. Aku sempat merasa tak enak hati karena sedikit merepotkan temanku yang memboncengkanku dengan motornya. Namun sudahlah, semoga dia mengerti dan semoga Allah membalas kebaikannya, begitu gumam dalam hatiku.

Setelah sekitar 20 menit aku sampai dirumah. Aku mengucapkan terima kasih pada temanku itu dan menawarinya agar membawa beberapa potong batang tebu, namun ia menolak. Aku hanya mengiyakan dan kami berpisah di depan rumahku. Aku mengangkat beberapa potong batang tebu yang selama perjalanan tadi aku perjuangkan. 

Setelah memasuki rumah, aku tersadar. Kenapa bisa aku begitu memperjuangkan beberapa potong batang tebu ini sejak dari rumahnya. Aku berpikir apa aku bisa menghabiskan semua ini, aku ingat adik perempuanku beberapa hari lalu ingin sekali makan tebu. Sontak setelah itu aku memanggilnya dan menawarinya untuk menikmati tebu itu bersama, meski pada akhirnya dia tak banyak membantuku untuk menghabiskannya.Tapi aku tetap senang karena setidaknya tak akan banyak terbuang tebu yang aku bawa. Aku merasa aku harus bisa memanfaatkan apa yang dia berikan kepadaku semaksimal mungkin. 

Mungkin “dia” memang alasan kuatku melakukan hal-hal tersebut, kau pasti berpikir ini konyol. Ah entahlah aku juga berpikir begitu, namun aku tak menolak secara gamblang kekonyolan itu. Aku hanya sesekali tersenyum malu dan bicara pada diriku sendiri karena kekonyolan yang aku lakukan. 

Kunjungan silaturahim yang benar-benar sangat langka bagiku di rumah itu adalah momen yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sambutannya tetap hangat, meski kadang sikapnya sesekali terlihat tidak natural. Mungkin semacam ada rasa gugup yang ia rasakan, terlihat dari tingkahnya yang suka mondar mandir entah untuk mencari ini dan itu yang sebenarnya tak terlalu penting juga untuk dia tunjukan padaku. Waktu terasa berjalan lambat saat kami bertiga berbincang, meski pada saat meninggalkan rumah itu aku sadar kenapa cuma sesingkat ini waktu bersamanya. 

Disana aku sempat bertemu sosok laki-laki yang gagah, meski beliau sedang sakit waktu itu, iya itu adalah ayahnya. Aku memberi salam padanya, dan tak lupa berpamitan saat aku mau beranjak pulang. Sayangnya aku tak melihat wanita terkasihnya, yaitu ibunya. Beliau sedang pergi ke pasar katanya. Sempat kami berniat menunggunya sampai pulang, tapi karena waktu yang tak memungkinkan aku harus pulang tanpa bertemu dengannya. Mengingat mereka berdua aku ikut teringat pada kedua orang tuaku, tak lupa ku selipkan do’a untuk mereka semua, semoga yang sakit segera di beri kesembuhan dan tetap diberi kesehatan wal’afiyat. 

      Sebenarnya ada dua jenis benda yang aku bawa sepulang dari rumah itu. Beberapa buku bertema agama islam dan satu kresek besar berisi potongan batang tebu yang ia ambil sendiri dari belakang rumahnya. Tapi potongan batang tebu itu selalu  mengingatkan aku tentang hari itu dan dia. Aku hanya sekedar teringat dan sesekali mengenang. Aku takkan lupa jalan pulang, aku akan kembali pada keadaan dimana hal itu adalah cerita yang telah usai.

0 komentar:

Posting Komentar