Aku
tak berniat menceritakan sebuah legenda tentang batang tebu yang keramat
ataupun asal-usul tanaman tebu. Aku ingat beberapa potongan batang tebu
terbungkus plastik kresek merah dan beberapa kali jatuh di jalan tapi terus ku
pungut kembali. Jalan itu memang tak bisa dibilang sangat jauh, hanya saja itu
lumayan jauh untuk mempertahankan batang tebu tetap aman dan tak terjatuh dari
pijakan kaki motor matic yang aku naiki bersama temanku.
Beberapa
kali, satu atau dua potong batang tebu jatuh tercecer di jalan, dan kami
berhenti untuk mengumpulkannya kembali ke dalam kantong kresek. Sempat ada rasa
malu yang aku rasakan karena memunguti batang tebu yang terjatuh itu beberapa
kali. Namun aku benar-benar berusaha mengabaikannya. Aku merasa aku harus
menjaganya hingga sampai rumah seperti aku menjaga bongkahan emas. Aku sempat
merasa tak enak hati karena sedikit merepotkan temanku yang memboncengkanku
dengan motornya. Namun sudahlah, semoga dia mengerti dan semoga Allah membalas
kebaikannya, begitu gumam dalam hatiku.
Setelah
sekitar 20 menit aku sampai dirumah. Aku mengucapkan terima kasih pada temanku
itu dan menawarinya agar membawa beberapa potong batang tebu, namun ia menolak.
Aku hanya mengiyakan dan kami berpisah di depan rumahku. Aku mengangkat beberapa
potong batang tebu yang selama perjalanan tadi aku perjuangkan.
Setelah
memasuki rumah, aku tersadar. Kenapa bisa aku begitu memperjuangkan beberapa
potong batang tebu ini sejak dari rumahnya. Aku berpikir apa aku bisa
menghabiskan semua ini, aku ingat adik perempuanku beberapa hari lalu ingin
sekali makan tebu. Sontak setelah itu aku memanggilnya dan menawarinya untuk
menikmati tebu itu bersama, meski pada akhirnya dia tak banyak membantuku untuk
menghabiskannya.Tapi aku tetap senang karena setidaknya tak akan banyak terbuang
tebu yang aku bawa. Aku merasa aku harus bisa memanfaatkan apa yang dia berikan
kepadaku semaksimal mungkin.
Mungkin
“dia” memang alasan kuatku melakukan hal-hal tersebut, kau pasti berpikir ini
konyol. Ah entahlah aku juga berpikir begitu, namun aku tak menolak secara
gamblang kekonyolan itu. Aku hanya sesekali tersenyum malu dan bicara pada diriku
sendiri karena kekonyolan yang aku lakukan.
Kunjungan
silaturahim yang benar-benar sangat langka bagiku di rumah itu adalah momen
yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sambutannya tetap hangat, meski kadang
sikapnya sesekali terlihat tidak natural. Mungkin semacam ada rasa gugup yang
ia rasakan, terlihat dari tingkahnya yang suka mondar mandir entah untuk
mencari ini dan itu yang sebenarnya tak terlalu penting juga untuk dia tunjukan
padaku. Waktu terasa berjalan lambat saat kami bertiga berbincang, meski pada
saat meninggalkan rumah itu aku sadar kenapa cuma sesingkat ini waktu
bersamanya.
Disana
aku sempat bertemu sosok laki-laki yang gagah, meski beliau sedang sakit waktu
itu, iya itu adalah ayahnya. Aku memberi salam padanya, dan tak lupa berpamitan
saat aku mau beranjak pulang. Sayangnya aku tak melihat wanita terkasihnya,
yaitu ibunya. Beliau sedang pergi ke pasar katanya. Sempat kami berniat
menunggunya sampai pulang, tapi karena waktu yang tak memungkinkan aku harus pulang
tanpa bertemu dengannya. Mengingat mereka berdua aku ikut teringat pada kedua
orang tuaku, tak lupa ku selipkan do’a untuk mereka semua, semoga yang sakit
segera di beri kesembuhan dan tetap diberi kesehatan wal’afiyat.
0 komentar:
Posting Komentar