Jumat, Maret 04, 2016

Butuh Jutaan Cangkir Kopi Susu


Malam ini memang terasa cukup dingin, selain karena hujan yang sempat turun senja tadi juga karena perasaan gugupku membuat tanganku cukup merasa dingin. Entahlah malam ini pakaian yang aku kenakan bertema hitam, seperti sebuah tanda bahwa nanti akan berakhir gelap bagi kami berdua.

Sekitar pukul 7 malam kami bertemu di sebuah resto sederhana yang cukup terjangkau harganya. Suasana resto itu penuh dengan warna orange cerah. Namun tidak dengan perasaanku yang diliputi keraguan dan ketakutan untuk mengatakan sesuatu padanya. Kami duduk berhadapan, namun aku menghadap kursi kosong di sampingnya, begitu juga dia yang menghadap kursi kosong di sampingku. Dua meja kotak kecil yang didekatkan rapat dan 4 kursi plastik dengan bahan cukup berkualitas di tata saling berhadapan itu terasa membuat jarak kami sangat dekat meski bukan duduk berdampingan.

Setelah pesanan kami datang, kami hanya mengobrol hal-hal ringan. Satu porsi chicken crispy dan secangkir kopi susu itu telah tersaji di depanku. Aku sangat antusias meminum kopi susu di depanku, namun karena masih panas,aku menikmati terlebih dahulu makananku. 

Sambil tertawa lepas, dia begitu tulus saat tersenyum saat itu meski sedikit terlihat grogi dalam beberapa tingkahnya. Sesekali aku berani menatap matanya, agak ragu untuk terus menatapnya, sampai pada akhirnya aku berusaha melempar pandangan ke meja kasir yang menghadap mejaku. Dan sesekali aku memegang gagang dan tubuh cangkir kopi yang cukup bisa menghangatkan tanganku yang terasa beku. Kami terus mengobrol banyak hal yang telah kami lewati saat beberapa waktu lalu sempat menjaga jarak tanpa komunikasi. Dia masih tersenyum begitu tulus.

Sampai pada akhirnya raut wajahnya menyiratkan marah penuh kekecewaan saat aku mulai mengatakan sesuatu yang ingin sekali aku sampaikan padanya. Dia yang begitu berharap padaku, dan malam itu aku seperti sedang mematahkan hatinya yang siap ia persembahkan padaku. Aku yang tidak menaruh rasa yang sama untuknya itu harus melakukan ini, aku tak mau menyakiti hatinya yang baik. Aku selalu merasa takut jika seiring berjalannya waktu hatiku tak bisa menujumu dan membiarkanmu berjuang begitu banyak untuk orang yang tak pernah memiliki rasa yang sama sepertimu. Aku benar-benar bukan orang yang tega membiarkan orang lain berkorban dan membuatku begitu serakah dalam cinta. Karena aku menerima semua perhatian dan kasih sayangnya namun aku tak bisa melakukan hal yang sama dengannya, terutama mempercayakan hatiku padanya.  

Kau harusnya mengerti, namun aku tak akan memaksamu mengerti. Aku punya caraku untuk menyampaikan perasaan cinta yang fitrah itu. Aku sebenarnya sangat menunggu keseriusanmu, namun kau tak sepemikiran denganku. Melakukan penolakan itu benar-benar cukup menghancurkan perasaanku. Raut wajahmu yang semakin berubah pada setiap kata yang aku ucap saat itu membuatku segera ingin lari dari tempat dudukku. Namun aku hanya bisa melampiaskannya dengan meneguk kopi susu setiap beberapa detik dan saat perasaanku semakin gugup menghadapimu. Sampai pada ujung pertemuan itu hanya tersisa ampas kopi hitam di dasar cangkir. Rasanya ingin ku teguk ribuan gelas kopi lagi untuk menghilangkan perasaan sakit dan rasa bersalahku padamu. Aku terlalu banyak bicara saat itu dan kau hanya diam setiap aku bertanya kembali “apa kau ingin mengatakan sesuatu?”. 

Ternyata diam mu dan raut wajah kecewamu yang sangat kentara itu cukup mampu mengobrak-abrik pikiran dan perasaanku. Akhirnya kita berpisah dengan wajah kecewa masing-masing. Di luar resto kau langsung menghilang pergi tanpa menghiraukanku. Aku tahu, aku mengerti perasaanmu. 
Aku pulang dengan membawa jutaan perasaan bersalah dan sakitku karena mengecewakanmu. Menolak dan mengecewakan rasanya lebih sakit bagiku. Kau yang sempat berjuang untukku, tetaplah jadi dirimu. Semoga kau menjadi lebih baik tanpa aku.

0 komentar:

Posting Komentar