Kamis, Oktober 20, 2016

Kita yang "Singkat"

Rumit, aku benci dengan hal-hal yang rumit. Itu mengapa aku kadang membenci diriku yang selalu rumit dalam menghadapimu dan memaknai perasaan ini.

Siang itu begitu panas, ku kendarai motorku menuju rumah untuk memuaskan laparku, ini jam istirahat makan siang ku. Sesampainya di rumah aku mengeluh pada ibu, “Badanku masih lemes, Bu.”Ibuku menimpali, “Nanti langsung pulang, Gak usah kemana-mana.”

Dalam benakku aku ingat, aku harus mengambil kue ulang tahun untuk sahabatku sepulang dari kerja. Tempat produksinya kira-kira perjalanan 30 menit dari rumahku. Sebuah pesan BBM masuk ke smartphone ku. Ah...itu kamu. Aku menceritakan padamu tentang hal itu. Awalnya aku memang menolak jika kau membantuku, namun entah ada sesuatu yang mendorongku untuk mengajakmu bertemu. Namun tak ku jelaskan jika sebenarnya dalam hati aku sedang menyimpan rindu yang sebegitunya untukmu.

Begitu menyebalkan menunggumu begitu lama, sambil mengendarai motorku berputar-putar di jalanan tanpa tujuan. Dan sampai akhirnya kita bertemu. Lampu lalu lintas yang biasa kita lihat saat kita bertemu, mengingatkanku seakan ada saatnya berhenti dan melanjutkan perjalanan, entah sepertinya itu tentang kita. Aku tak mengerti apa yang sedang aku resahkan waktu itu. Jarak, kita semakin berjarak beberapa waktu ini.

Tetap ada yang berbeda saat kita bertemu, sedikit ada yang tak biasa. Ada jarak. Selama perjalanan semua memori tentang perjalanan kita bermunculan seperti slideshow foto yang berurutan mengisi layar besar di benakku. Seketika aku panik dan bertanya pada hatiku. “Bagaimana ini?”.

Hampir 30 menit, dan aku menemukan alamat si pembuat kue ulang tahun untuk sahabatku. Sedikit merepotkan karena aku harus menjaga kardus kue itu tetap dalam posisi yang benar agar tak rusak kue di dalamnya. Bersyukur karna aku bisa memeganginya dengan tenang karena kau siap mengendarai motor dengan aman di depan.

“Ayo kita pulang!..” seruku sambil tersenyum.
“Pulang,pulang... katanya mau menghabiskan waktu berdua.” Dengan senyum nakalnya menagih janjiku.

Yah, aku bisa apa. Aku memang ingin berdua denganmu hari itu. Ada yang tak bisa ku tunda. Ada yang ingin aku sampaikan. Atau memang ada yang ingin ku akhiri. Aku tak tahu mana yang harus ku lakukan dulu.

Kita sampai di tempat berisik itu karena permintaan ku. Berisik karena musik dan lagu yang di putar keras di beberapa stan penjual. Tetap saja, kamu memperlakukan aku dengan baik. Hal yang akan sulit kulupakan nanti. 

Duduk berhadapan dengan jarak meja kurang dari 1 meter, ah... kau tau itu membuatku tak nyaman. Perbincangan kita masih saja tentang hari-hari kemarin yang berhias konflik. Satu per satu mulai ku jelaskan apa apa saja yang dari hari kemarin ingin ku sampaikan. Kau tersenyum, tertawa, bermuka masam, marah dan entah tak tau lagi apa yang tengah kau rasakan waktu itu. Sementara, aku bingung, gugup, sedih dan masih tetap bahagia melihatmu.

Tetap saja aku mencintai apa yang membuatmu tak nyaman, dan itu jarak bagiku. Aku mencintai apa yang membuatku bahagia selama ini namun mengganggu pikiranmu, itu jarak bagiku. Aku mencintai waktu-waktu yang kuhabiskan dengannya namun membuatmu cemburu, itu jarak bagiku.

Sekarang kita seperti kumpulan jarak panjang yang takut untuk aku dekatkan. Ini jalan yang aku pilih untuk cerita singkat kita. Jika suatu hari aku menyesalinya, jangan biarkan aku kembali, biarkan sakitnya sesalku mengganti semua sakitmu. 
Maafkan, atas segala keegoisan dari orang yang pernah belajar mencintaimu, namun harus berhenti saat mulai mencintai semua waktu bersamamu.

0 komentar:

Posting Komentar